Marriage.com |
Saya mengalami perbedaan dalam menjalankan komunikasi produktif dengan suami antara menggunakan gadget dan berbicara langsung. Kami menjalani pernikahan jarak jauh, dikarenakan suami bekerja di Papua sedangkan saya sedang hamil dan tinggal bersama mertua di Salatiga, Jawa Tengah. Perbedaan waktu dua jam antara Waktu Indonesia Timur dan Barat memberi tantangan tersendiri bagi kami berdua. Pagi-pagi buta pukul 04.30 WIT suami sudah berangkat bekerja, sedangkan di Salatiga masih pukul 02.30 WIB dimana saya masih tidur terlelap. Dari awal menjalin hubungan jarak jauh, kami bersepakat untuk saling memberi kabar di waktu sore hari, ketika suami sudah pulang kerja pukul 19.00-21.00 WIT (17.00-19.00 WIB). Alhamdulillah tidak ada masalah yang berarti ketika kami berkomunikasi. Jika ada miss communication pun kami segera meng-clear-kan masalah tersebut dengan segera.
Setelah lima bulan sejak awal kami menikah, suami mengambil cuti di bulan februari 2017. Sejak kami berjauhan di bulan september 2016, suami belum pernah melihat langsung kondisi saya sedang hamil anak pertama kami. Saya tetap menjalankan komunikasi yang produktif ketika bertemu langsung dengan suami. Justru, bahan pembicaraan kami pun jauh lebih intensif dan berkualitas dibandingkan hanya sekedar berbagi cerita melalui telepon ataupun chatting whatsapp.
Ketika kami mempunyai kualitas waktu untuk bertemu dan berdiskusi, saya betul-betul memanfaatkan waktu cuti suami untuk lebih sering bersama-sama. Mulai dari bangun pagi sampai tidur lagi di malam harinya. Topik pembicaraan kami pun bervariasi, dari sekedar gurauan, perdebatan, sampai kesepakatan. Maklum, ini merupakan pengalaman awal saya beradaptasi berkomunikasi dengan suami sebagai pasangan suami istri. Ada perbedaan sikap dan bahan obrolan ketika kami masih pacaran dan kini sudah menikah. Terkadang pengelolaan emosi pun masih terbawa masa-masa masih pacaran. Sehingga hal sepele bisa membuat intonasi saya dan suami naik satu oktaf. Namun saya segera menyadari dan meminta maaf terlebih dahulu agar tidak menjadi masalah yang berlarut-larut.
Sikap dan sifat saya di akui oleh suami ada peningkatan lebih baik dari sebelumnya. Mungkin ini salah satu indikator keberhasilan saya menerapkan ilmu komunikasi produktif dari materi Bunda Sayang. Ketika saya menjalankan tantangan game level 1 pun suami mengapresiasi semangat saya belajar menjadi seorang istri dan ibu profesional. Saya menyadari masih banyak kekurangan yang ada dalam diri saya untuk membangun komunikasi yang jauh lebih produktif yang nantinya bisa dianggap berhasil bagi suami dan anak-anak saya. Namun atas dukungan suami dan motivasi dari diri saya sendiri membuat saya selalu optimis bahwa saya pasti bisa menjadi partner dan panutan untuk keluarga.
Cara saya untuk tetap semangat menjalankan komunikasi yang produktif antara lain : Mulai menyadari bahwa mengedepankan logika akan jauh lebih meredam konflik dibandingkan dengan membawa-bawa perasaan yang terkesan egois. Saya memposisikan diri dalam setiap pembicaraan dan komunikasi dengan suami dari sudut pandang suami dan keluarga, hal ini agar membuat saya tidak sering baper (terbawa perasaan) ketika saya menemui hal-hal yang membuat komunikasi kami tidak produktif. Ini sebagai bahan intropeksi saya, bahwa dalam menyampaikan pesan mungkin ada cara atau kata-kata saya yang kurang tepat.
Sejauh ini hasil dari belajar saya mempratikkan komunikasi produktif bisa diterima oleh suami dan keluarga. Saya bisa lebih membuka pikiran saya dan berani untuk mengutarakan hal-hal yang saya anggap benar dan baik untuk hubungan saya dengan suami dan juga keluarga. Kemudian saya lebih sering belajar menjadi seorang pendengar, mencoba menganalisa maksud yang disampaikan lawan bicara saya. Hal ini membuat saya tidak egois untuk menjadi pribadi yang selalu ingin di dengar saja. Tapi juga bisa menjadi seorang pendengar yang baik dan bijak. Bijak yang bagaimana? Memberikan saran jika diminta, dan mengambil pelajaran dari setiap komunikasi yang ada.
Pinterest.com |
Comments
Post a Comment